Di tengah padang pasir Uzbekistan, Anda mungkin tersandung di
pemandangan yang aneh, bangkai beberapa kapal di tengah terik matahari.
Bukan karena sisa tsunami, kapal-kapal itu sudah teronggok sejak 50
tahun lampau, ketika daerah itu masih menjadi daerah perairan bernama
Laut Aral.
Sebelum 1960, daerah adalah daerah kaya yang penuh dengan ikan dan
dermaga perdagangan yang ramai untuk masyarakat sekitar. Kemudian, dalam
waktu beberapa tahun, air laut mengering, ikan banyak yang mati, dan
tidak ada yang tersisa kecuali kapal berkarat itu.
Laut – sebenarnya sebuah danau, tapi dijuluki ”laut” karena merupakan
salah satu danau terbesar di dunia – adalah tindakan yang direncanakan
oleh Pemerintah Uni Soviet saat itu. Laut Aral merupakan salah satu
danau terbesar di dunia, mencakup luas 26.300 mil persegi, atau setara
4.232,57 km persegi. Sekarang, wilayah ini hanya ada sebagai sekitar
2.000 mil persegi air, dibagi menjadi empat danau yang lebih kecil.
Bencana bagi Laut Aral bermula saat pemerintah Soviet ingin
menggunakan air untuk mengairi bagian lain dari padang pasir untuk
produksi kapas dan tanaman perkebunan lain. Air dari Laut Aral,
dialirkan ke sana.
Irigasi dimulai pada 1940-an, dengan bangunan besar kanal untuk
mengalihkan air dari sungai-sungai yang mengisi danau. Ketika air
terkuras, salinitas air meningkat, dan jutaan ikan mati. Diperkirakan
sekitar 50 sampai 75 persen air terkuras saat itu.
Sejak tahun 1960, ketinggian air turun sekitar 20 cm. Sejak 1970, jumlah penurunan lebih besar lagi, mencapai 61 cm pertahun.
Pada 1980-an, karena air makin habis untuk keperluan irigasi,
permukaan air turun pada tingkat tertinggi yang belum pernah terjadi di
masa lalu, rata-rata 89 cm pertahun – dan pada titik ini, danau mulai
mengering.
Penduduk setempat menghadapi rentetan masalah, seperti sekaratnya
industri perikanan dan sumber kehidupan mereka seperti terampas. Tak ada
pilihan, migrasi besar-besaran pun terjadi. Laut Aral, kini tinggal
cerita.